Strategi Cermat Hadapi Gejolak Ekonomi Global: Peluang dan Tantangan Bagi Indonesia

Gejolak ekonomi global yang dipicu oleh dinamika geopolitik, perubahan kebijakan perdagangan, serta persaingan antarblok ekonomi seperti BRICS dan G7, menuntut Indonesia bersikap lebih hati-hati dalam mengambil kebijakan. Dalam menghadapi tantangan ini, kehati-hatian menjadi kunci penting agar langkah pemerintah tidak justru memperparah kondisi dalam negeri, dan tetap mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat.

Kehati-hatian Menjadi Kunci Menyikapi Tantangan Global

Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menekankan pentingnya kehati-hatian dalam mengambil kebijakan ekonomi. Dalam diskusi bertema BRICS dan Tarif Trump: Tantangan Baru Bagi Ekonomi Indonesia, ia menyoroti bagaimana fluktuasi global bukan sekadar soal angka dan neraca perdagangan, tetapi menyangkut kesejahteraan rakyat dan stabilitas nasional.

Menurutnya, dinamika global harus disikapi dengan semangat persatuan dan strategi ekonomi yang terarah, agar mandat konstitusi untuk meningkatkan kesejahteraan umum tetap bisa diwujudkan.

BRICS: Peluang Baru, Tantangan Baru

Keikutsertaan Indonesia dalam kelompok BRICS—yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan—membuka peluang baru di tengah stagnasi ekonomi global. Freddy Josep Pelawi dari Kementerian Perdagangan menyebutkan bahwa BRICS dapat menjadi alternatif pasar ekspor Indonesia, khususnya untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasar tradisional seperti Amerika Serikat dan Eropa.

Namun, tantangan tetap ada. Indonesia masih menghadapi hambatan perdagangan seperti:

  • Anti-dumping produk baja oleh Brasil

  • Persyaratan standar kualitas untuk produk ke Rusia

  • Potensi bea masuk imbalan dari negara-negara mitra

Tarif Trump dan Perang Dagang: Strategi Negosiasi Perlu Komprehensif

Profesor Telisa Aulia Falianty dari FEB UI mengkritisi negosiasi Indonesia dengan Amerika Serikat yang terlalu berfokus pada perdagangan barang. Padahal, menurutnya, aspek investasi, tenaga kerja, hingga arus uang juga sangat menentukan posisi tawar Indonesia di tengah tekanan kebijakan proteksionis Trump.

Ia mengingatkan bahwa memberikan tarif nol untuk produk AS bisa menimbulkan efek domino, yakni tuntutan yang sama dari negara lain. Oleh karena itu, Indonesia perlu melakukan antisipasi agar kedaulatan ekonomi tidak terganggu oleh kesepakatan sepihak.

Rantai Pasok Global: Waspadai Isu Transhipment

Peneliti CSIS Riandy Laksono menjelaskan bahwa perang dagang AS–China bukan lagi sekadar perang tarif, tetapi bagian dari upaya membentuk ulang rantai pasok dunia. AS kini lebih memperhatikan asal-usul bahan baku dan metode produksi.

Isu transhipment menjadi sorotan, di mana produk dari negara ketiga yang menggunakan bahan dari China tetap bisa dikenakan tarif tinggi oleh AS. Riandy menegaskan bahwa Indonesia harus cermat dalam menyusun perjanjian dagang, termasuk mendefinisikan secara jelas komponen asal produk untuk menghindari sanksi.

Industri Lokal Bisa Tangguh: Studi Kasus Industri Mebel Jepara

Contoh keberhasilan adaptasi datang dari sektor industri furnitur di Jepara. Ketua HIMKI Jepara, Hidayat Hendra Sasmita, menyatakan bahwa meskipun sempat terdampak perang Rusia–Ukraina dan ketidakpastian tarif AS, industri furnitur berhasil mencatat pertumbuhan 9,9% pada triwulan I 2025.

Keberhasilan ini membuktikan bahwa industri lokal bisa bertahan dan tumbuh asalkan memiliki daya adaptasi tinggi dan pasar alternatif. Ekspansi ke negara mitra BRICS serta penguatan pasar domestik menjadi kunci pemulihan sektor ini.

Perdagangan Global Bukan Sekadar Ekonomi, Tapi Juga Psikologis

Dosen dan psikolog Silverius Y. Soeharso menyatakan bahwa kebijakan tarif tinggi yang diterapkan AS bukan hanya bentuk perang ekonomi, tetapi juga perang psikologis. Menurutnya, jika Indonesia terlalu reaktif dan panik, maka posisi tawar akan melemah.

Ia menyarankan agar pemerintah juga melihat potensi kerja sama lain seperti dengan Australia dan BRICS, sambil mengembangkan sumber daya manusia (SDM) untuk dapat bersaing dan berperan dalam industri global.

Peluang BRICS Baru Akan Terasa di 2045

Wartawan senior Saur Hutabarat memprediksi bahwa manfaat penuh dari keanggotaan BRICS bagi Indonesia baru akan terlihat sekitar tahun 2045, bertepatan dengan target Indonesia Emas. Saat itu, PDB negara-negara BRICS diperkirakan akan melampaui G7.

Namun, Saur mengingatkan agar Indonesia tidak terlalu terpaku pada dinamika global, melainkan harus menyelesaikan pekerjaan rumah internal, seperti perbaikan regulasi, kepastian hukum, dan iklim investasi yang kondusif.

Kesimpulan

Dalam menghadapi gejolak ekonomi global, Indonesia memerlukan strategi yang tidak hanya hati-hati, tetapi juga berbasis data, inklusif, dan berpandangan jangka panjang. Keanggotaan dalam BRICS, peluang pasar non-tradisional, serta tekanan dari kebijakan AS semuanya bisa menjadi peluang jika dikelola dengan baik.

Namun, untuk memanfaatkannya secara maksimal, Indonesia harus memperkuat ekosistem bisnis dalam negeri, menyusun kebijakan perdagangan yang komprehensif, dan meningkatkan kapasitas SDM agar siap bersaing di pasar global.

Sumber : metrotvnews

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *