Subsidi energi selama bertahun-tahun menjadi penyangga daya beli masyarakat Indonesia, menjaga harga bahan bakar dan listrik tetap terjangkau serta mengendalikan inflasi. Namun, pada 2025, beban subsidi yang semakin besar justru memunculkan tantangan baru: pertumbuhan ekonomi yang stagnan dan tekanan berat pada fiskal negara. Tanpa strategi penyaluran yang tepat, subsidi berisiko menjadi beban permanen yang menggerus ruang anggaran pembangunan.
Subsidi Energi Meningkat Signifikan di 2025
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, total anggaran subsidi dan kompensasi sektor energi pada APBN 2025 mencapai Rp 394,3 triliun. Angka ini naik dibandingkan realisasi 2024 yang sebesar Rp 386,9 triliun.
Rinciannya antara lain:
-
Subsidi BBM: Rp 26,7 triliun (naik dari Rp 21,6 triliun di 2024).
-
Subsidi LPG 3 kg: Rp 87 triliun (naik dari Rp 80,2 triliun).
-
Subsidi listrik: Rp 89,7 triliun (naik dari Rp 75,7 triliun).
-
Kompensasi energi: Rp 190,9 triliun (turun dari Rp 209,3 triliun).
Meskipun subsidi ini menjaga daya beli masyarakat, jika penggunaannya hanya untuk konsumsi tanpa memicu aktivitas produktif, manfaatnya akan cepat menguap.
Masalah Utama: Subsidi Tak Mendorong Pertumbuhan
Fenomena subsidi yang tidak produktif ibarat mengisi bak air yang bocor: dana terus mengalir, tetapi hasilnya tidak bertahan lama. Lapangan kerja baru tidak berkembang pesat, sektor riil stagnan, dan pertumbuhan ekonomi berjalan tanpa percepatan berarti.
Beban fiskal semakin berat karena pemerintah harus terus mengalokasikan dana besar untuk subsidi, sementara penerimaan negara bisa tertekan akibat gejolak harga komoditas global dan potensi penurunan penerimaan pajak.
Dampak Terhadap Ruang Fiskal dan Pembangunan
Jika tren ini berlanjut, ruang fiskal untuk membiayai proyek prioritas seperti infrastruktur, pendidikan, dan riset akan semakin sempit. Padahal, sektor-sektor tersebut merupakan fondasi penting untuk pertumbuhan jangka panjang.
Ketika dana APBN lebih banyak tersedot untuk subsidi konsumtif, investasi di bidang yang mendorong daya saing nasional bisa tertunda atau bahkan terhenti. Akibatnya, daya saing Indonesia di kancah global berisiko melemah.
Belajar dari Negara Lain
Pengalaman negara seperti India dan Malaysia menunjukkan bahwa subsidi energi bisa menjadi motor pertumbuhan jika diarahkan dengan tepat. Strategi yang mereka terapkan meliputi:
-
Penargetan presisi – memastikan hanya kelompok yang benar-benar membutuhkan yang menerima subsidi.
-
Integrasi dengan program pemberdayaan ekonomi – subsidi tidak hanya menjaga konsumsi, tetapi juga memicu kegiatan usaha produktif.
-
Pemantauan ketat – penggunaan teknologi untuk mengawasi efektivitas penyaluran subsidi.
Peran Teknologi dalam Transformasi Subsidi
Teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) kini membuka peluang baru untuk memperbaiki sistem subsidi di Indonesia. AI dapat:
-
Memetakan kebutuhan subsidi secara tepat berdasarkan data sosial-ekonomi.
-
Mengidentifikasi penerima manfaat yang benar-benar layak.
-
Memantau dampak subsidi secara real-time, sehingga kebijakan bisa segera disesuaikan jika tidak efektif.
Dengan kombinasi teknologi dan kebijakan yang berpihak pada produktivitas, subsidi energi dapat berubah dari beban menjadi investasi yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kesenjangan sosial.
Kesimpulan
Subsidi energi memang penting untuk menjaga stabilitas harga dan daya beli masyarakat. Namun, tanpa perencanaan dan penyaluran yang tepat sasaran, subsidi akan menjadi beban fiskal yang terus membengkak tanpa kontribusi signifikan pada pertumbuhan ekonomi.
Indonesia memiliki peluang untuk mengubah paradigma ini dengan memanfaatkan teknologi, memperketat pengawasan, dan mengintegrasikan subsidi dengan program pemberdayaan ekonomi. Pertanyaannya, apakah pemerintah siap mengambil langkah berani untuk memastikan setiap rupiah subsidi benar-benar menjadi bahan bakar bagi kemajuan bangsa?
Sumber : cnbcindonesia.com