Deindustrialisasi dini menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi perekonomian Indonesia dalam satu dekade terakhir. Merosotnya kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) memperlambat penciptaan lapangan kerja formal dan menghambat pertumbuhan produktivitas. Namun demikian, sejumlah pakar menilai masih ada harapan untuk membalikkan arah, asalkan kebijakan industrialisasi diarahkan secara tepat. Apakah ekonomi Indonesia masih berpeluang tumbuh hingga mendekati 8% seperti era keemasan tahun 1990-an?
1. Apa Itu Deindustrialisasi Dini?
Deindustrialisasi dini (premature deindustrialization) adalah fenomena menurunnya kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB sebelum negara tersebut mencapai tingkat pendapatan menengah atas. Hal ini berbeda dari negara maju, yang mengalami deindustrialisasi setelah sektor industri mereka matang dan menyumbang pendapatan besar.
Di Indonesia, deindustrialisasi terlihat dari penurunan kontribusi sektor pengolahan terhadap PDB. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS):
-
Pada tahun 2014, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB masih 21,02%.
-
Tahun 2019 turun menjadi 19,7%,
-
Tahun 2023 merosot lagi menjadi 18,67%,
-
Dan pada kuartal I 2025 hanya 19,25%.
📌 Sumber: CNBC Indonesia, 11 Juli 2025
2. Penyebab Deindustrialisasi di Indonesia
Guru Besar Ekonomi dari Universitas Padjadjaran, Prof. Arief Anshory Yusuf, menyatakan bahwa deindustrialisasi di Indonesia belum sampai pada tahap yang parah, tetapi sudah menunjukkan gejala “stalled industrialization” atau industrialisasi yang mandek.
Faktor utama penyebabnya antara lain:
-
Transformasi struktural yang salah arah: perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian bukan ke manufaktur, melainkan ke sektor perdagangan informal.
-
Dominasi sektor perdagangan: banyak pelaku usaha yang hanya menjual produk luar negeri tanpa proses produksi domestik.
-
Rendahnya produktivitas sektor informal, seperti perdagangan dan jasa, yang bahkan berada di bawah sektor manufaktur.
3. Dampak Deindustrialisasi terhadap Ekonomi
a. Lapangan Kerja Layak Berkurang
Beralihnya angkatan kerja ke sektor informal menyebabkan berkurangnya jumlah pekerjaan formal dan berupah layak. Menurut Prof. Arief, hal ini tidak hanya terjadi pada kalangan bawah, tetapi juga menjangkiti kelas menengah dan profesional.
b. Pertumbuhan Ekonomi Stagnan
Tanpa peran besar sektor industri, Indonesia kesulitan mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi. Pada kuartal I-2025, ekonomi Indonesia hanya tumbuh di bawah 5%, jauh dari target ideal 7-8% seperti di era 1990-an ketika industri manufaktur masih mendominasi.
4. Solusi: Reindustrialisasi Melalui Hilirisasi dan Industri Padat Karya
Pemerintah dinilai perlu mengarahkan kembali kebijakan hilirisasi ke sektor industri padat karya, bukan hanya ke industri ekstraktif atau berbasis komoditas. Industri padat karya:
-
Menciptakan lapangan kerja formal,
-
Meningkatkan produktivitas nasional,
-
Dan menaikkan pendapatan rumah tangga.
Salah satu strategi pemulihan yang dinilai berhasil adalah:
-
Integrasi rantai pasok dalam negeri,
-
Ekosistem industri nasional yang terhubung dari hulu ke hilir,
-
Dan peningkatan investasi manufaktur domestik.
5. Masih Adakah Harapan Ekonomi 8%?
Menurut Arief, peluang menuju ekonomi 8% masih terbuka, jika Indonesia mampu:
-
Mengembalikan kontribusi industri terhadap PDB ke atas 20%,
-
Meningkatkan produktivitas tenaga kerja,
-
Mengurangi ketergantungan pada sektor informal,
-
Dan memperkuat kebijakan pendidikan vokasi dan pelatihan kerja industri.
Kesimpulan
Deindustrialisasi dini merupakan ancaman nyata bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang Indonesia. Namun, kondisi ini masih bisa dibalik dengan strategi yang tepat, seperti reindustrialisasi berbasis padat karya, penguatan rantai pasok industri, serta reformasi struktural tenaga kerja. Jika langkah ini dilakukan dengan konsisten, bukan tidak mungkin Indonesia kembali mencapai pertumbuhan ekonomi mendekati 8% seperti era sebelumnya.
Sumber : cnbcindonesia