Gelombang PHK Mengancam Akibat Manufaktur Lesu, Kemnaker Siapkan Strategi Antisipasi

Kelesuan industri manufaktur Indonesia kembali menjadi sorotan nasional. Dengan indeks PMI yang terus turun sejak April 2025, kekhawatiran akan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) makin nyata. Kementerian Ketenagakerjaan mengakui situasi ini dan telah menyiapkan sejumlah langkah mitigasi untuk meredam dampaknya.

Kinerja Manufaktur Melemah, Sinyal Awal Ancaman PHK

Lesunya aktivitas industri manufaktur Indonesia pada pertengahan 2025 mulai menunjukkan dampak serius terhadap ketenagakerjaan nasional. Berdasarkan laporan S&P Global, indeks Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia untuk bulan Juni berada di angka 46,9, turun dari 47,4 di bulan Mei.

PMI di bawah angka 50 menandakan bahwa sektor tersebut sedang berada dalam fase kontraksi. Artinya, kegiatan produksi dan permintaan mengalami penurunan. Laporan menyebutkan bahwa penurunan ini lebih didorong oleh lesunya permintaan domestik, bukan ekspor. Klien industri dikabarkan mulai menahan pemesanan, menyebabkan turunnya kapasitas produksi dan kemungkinan besar diikuti oleh efisiensi tenaga kerja.

“Penurunan pemesanan membuat dunia usaha mengurangi karyawan dan pembelian bahan baku,” ungkap Usamah Bhatti, Ekonom dari S&P Global Market Intelligence.

Respon Pemerintah: Menaker Akui Kekhawatiran PHK Massal

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menanggapi perkembangan ini dengan mengakui bahwa ancaman gelombang PHK akibat manufaktur lesu adalah hal yang nyata dan harus diantisipasi.

“PHK ini kita lihat sebagai kerja dari hulu ke hilir. Yang sudah ada sekarang adalah JKP. Itu antisipasi dari awal, manfaatnya kita perbesar,” ujar Yassierli kepada wartawan, Kamis (3/7/2025).

Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) telah disiapkan sebagai salah satu langkah strategis. JKP menyediakan perlindungan sosial bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan, termasuk tunjangan sementara, pelatihan kerja, dan akses penempatan kembali ke pasar tenaga kerja.

Selain JKP, Yassierli juga mengungkapkan rencana pembentukan Satuan Tugas (Satgas) PHK, yang merupakan inisiatif Presiden Prabowo Subianto sebagai bagian dari komitmen terhadap isu ketenagakerjaan saat peringatan Hari Buruh.

Sayangnya, pembentukan satgas ini belum mencapai kejelasan karena melibatkan koordinasi antarkementerian dan lembaga. Namun, sebagian tugas pengawasan dan mitigasi sudah dijalankan Kemnaker secara langsung.

“Ketika ada early warning system mengatakan kuning, akan terancam PHK, kami turun. Kami juga rapat koordinasi dengan dinas daerah dan lakukan mediasi,” tambahnya.

Dampak Luas: Penurunan Produksi, Optimisme Menurun

Efek domino dari lesunya manufaktur bukan hanya dirasakan pekerja, tetapi juga pelaku industri secara menyeluruh. Penurunan pesanan menyebabkan banyak perusahaan harus mengurangi operasional dan jumlah tenaga kerja. Ini menjadikan kuartal kedua 2025 sebagai periode penurunan ketenagakerjaan tercepat dalam hampir empat tahun terakhir.

Lebih lanjut, tingkat kepercayaan dunia usaha terhadap prospek bisnis dalam 12 bulan ke depan juga mengalami penurunan signifikan. Ini menjadi sinyal buruk bagi keberlanjutan pertumbuhan ekonomi dalam waktu dekat.

“Keyakinan dunia usaha jatuh ke level terlemah dalam 8 bulan terakhir,” kata Usamah Bhatti.

Ketidakpastian global, tekanan inflasi, dan berkurangnya permintaan membuat perusahaan menjadi lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan ekspansi maupun perekrutan tenaga kerja baru.

Kesimpulan: Langkah Proaktif Perlu Segera Dipercepat

Menghadapi ancaman nyata dari gelombang PHK akibat manufaktur lesu, pemerintah perlu mempercepat implementasi langkah-langkah mitigatif. Program seperti JKP patut didorong lebih luas, serta pembentukan Satgas PHK harus segera diselesaikan agar koordinasi di lapangan dapat berjalan maksimal.

Kolaborasi lintas sektor juga menjadi kunci. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pelaku industri harus duduk bersama mencari jalan keluar yang adaptif dan berkelanjutan. Terlebih, tantangan perekonomian global tidak akan selesai dalam waktu dekat.

Langkah preventif dan kecepatan merespon krisis bisa menjadi pembeda antara perlambatan sementara atau krisis ketenagakerjaan jangka panjang.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *