Dampak Kebijakan Tarif Trump, Ekonomi Indonesia 2025-2026 Diramal Tak Capai 5 Persen

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 dan 2026 diprediksi tidak akan menyentuh angka 5 persen. Hal ini dipengaruhi oleh ketidakpastian global dan kebijakan tarif resiprokal dari Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump. Proyeksi terbaru dari kantor riset AMRO mengindikasikan perlambatan ekonomi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di kawasan ASEAN+3 secara keseluruhan.

AMRO Pangkas Proyeksi Pertumbuhan ASEAN+3

Dalam laporan ASEAN+3 Regional Economic Outlook Quarterly Update yang dirilis 23 Juli 2025, AMRO (ASEAN+3 Macroeconomic Research Office) memangkas prediksi pertumbuhan ekonomi kawasan ASEAN+3 menjadi 3,8 persen pada 2025 dan 3,6 persen pada 2026. Sebelumnya, AMRO memperkirakan pertumbuhan 4,2 persen pada 2025 dan 4,1 persen pada 2026.

Untuk kawasan ASEAN sendiri, termasuk Indonesia, proyeksi pertumbuhan dikoreksi menjadi 4,4 persen pada 2025 dan 4,1 persen pada 2026—turun dari proyeksi sebelumnya yaitu 4,7 persen di kedua tahun tersebut.

Khusus Indonesia, ekonomi diramal hanya tumbuh sebesar 4,8 persen pada 2025 dan 4,7 persen pada 2026. Padahal sebelumnya, AMRO memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5 persen dan 5,1 persen pada masing-masing tahun tersebut.

Biang Keladi: Kebijakan Tarif Resiprokal AS

Menurut AMRO, penyebab utama perlambatan ini adalah tarif impor resiprokal dari Amerika Serikat yang diberlakukan terhadap negara mitra dagangnya, termasuk Indonesia. Di bawah pemerintahan Trump, AS meningkatkan kembali kebijakan proteksionisme, termasuk tarif bea masuk timbal balik.

Indonesia termasuk negara yang terdampak. Awalnya, tarif dikenakan sebesar 32 persen, namun setelah negosiasi bilateral, diturunkan menjadi 19 persen. Meski demikian, tarif ini tetap membebani sektor perdagangan dan ekspor Indonesia ke pasar AS.

“Ketidakpastian global meningkat karena langkah proteksionisme seperti tarif impor resiprokal. Potensi perluasan tarif terhadap produk tambahan juga dapat mengganggu aktivitas perdagangan lebih jauh,” ujar Kepala Ekonom AMRO, Dong He.

Pemerintah RI Masih Kaji Pernyataan Bersama dengan AS

Meskipun Gedung Putih telah merilis joint statement terkait kerangka kerja perdagangan antara AS dan Indonesia pada 22 Juli 2025, Pemerintah RI belum menandatangani pernyataan tersebut secara resmi. Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Haryo Limanseto, mengatakan bahwa pemerintah masih menyusun respons atas dokumen tersebut.

“Nanti penetapan tarif dilakukan setelah ada tanda tangan dari kedua pihak. Saat ini masih dalam tahap persiapan dan koordinasi internal,” jelas Haryo.

Selain isu tarif, dalam pernyataan bersama tersebut juga disepakati soal kerangka kerja untuk perdagangan digital, investasi, ketenagakerjaan, lingkungan, dan keamanan ekonomi. Isu transfer data juga menjadi sorotan, namun pemerintah memastikan data yang diberikan hanya sebatas data komersial, bukan data pribadi atau strategis.

Ketegangan Global dan Dampaknya terhadap RI

Kondisi perekonomian global yang semakin tidak pasti, ditambah suku bunga tinggi di AS serta perlambatan ekonomi di Eropa, turut menekan proyeksi ekonomi RI. Ekonomi mitra dagang utama Indonesia seperti China juga mengalami koreksi pertumbuhan. Ekonomi China diperkirakan tumbuh 4,5 persen pada 2025 dan 4,1 persen pada 2026, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya.

“Dengan fragmentasi global yang meningkat dan kondisi geopolitik yang rumit, penting bagi negara-negara ASEAN+3 untuk memperkuat integrasi regional,” tambah Dong He. Ia menekankan pentingnya kerja sama regional dan komitmen terhadap prinsip perdagangan bebas berbasis aturan internasional.

Harapan Lewat Integrasi Regional

Kendati menghadapi tekanan eksternal yang besar, AMRO melihat kawasan ASEAN+3 masih memiliki ketahanan yang relatif baik. Respons cepat pemerintah di negara-negara kawasan terhadap guncangan perdagangan dinilai mampu mengurangi dampak negatif yang lebih luas.

Bagi Indonesia, langkah untuk memperdalam kerja sama regional dan diversifikasi mitra dagang menjadi kunci agar tidak terlalu bergantung pada pasar tunggal seperti AS atau China. Reformasi struktural dalam negeri pun harus dipercepat agar perekonomian lebih tangguh menghadapi guncangan global.

Sumber :kompas.id

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *